Perkembangan RNA Virus
1.
Profil Virus
Virus
merupakan organisme prokariotik yang memiliki sifat yang unik yaitu dapat
bereplikasi di dalam sel organisme lain (intraseluler) dan merupakan benda
mati/partikel/ biasa disebut dengan virion bila berada di luar sel organisme
(ekstraseluler). Virion tidak melakukan aktivitas biosintesis atau respirasi.
Virus dalam kondisi intraseluler akan melakukan reproduksi dengan menghasilkan genom virus kemudian
mensintesis komponen-komponen pembentuk mantel virus. Proses pada saat genom
virus memasuki sel dan bereproduksi disebut dengan infeksi (menginfeksi sel
inang) yang kemudian mengambil alih aktivitas metabolisme sel inang.
Pada tahun 1935, riset yang
dilakukan oleh Wendell Meredith Stanley berhasil mengisolasi dan mengkristalkan
virus mozaik tembakau dan menyimpulkan bahwa virus bebeda dengan bakteri. Kristal
virus yang diinjeksikan ke tembakau sehat maka virus akan aktif untuk melakukan
penggandaan dan menyebabkan tembakau menjadi sakit. Saat berupa kristal tidak
dapat disebut sebagai sel sehingga virus dianggap sebagai peralihan dari materi
abiotik dan biotik. Riset ini kemudian mendorong pengembangan ilmu tentang
virus atau virologi (Zurnidas, 2010).
Gambar
1. Virus (Sumber:http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/hiv.jpg)
Virus adalah suatu partikel yang mengandung bahan
genetik berupa DNA atau RNA yang diselubungi oleh protein yang disebut kapsid.
Satuan dasar virus disebut virion (Yuwono, 2010). Molekul RNA yang panjang
berada di genom virus. Molekul RNA virus ini bertanggung jawab atas dua fungsi
yaitu mengkode protein virus dan
meregulasi karekteristik bentuk RNA dalam siklus hidupnya (Fekete, 2000). Peran
penting kedua dari struktur virus adalah untuk tetap eksis atau lestari saat
berevolusi. Pada saat seleksi alam terjadi mutasi secara random dan dapat
merusak struktur kode. Khususnya bagian
genom virus yang tidak dapat ditranslasi kemungkinan memiliki peran yang
penting, dalam hal lain tekanan seleksi yang tinggi akan dapat menghilangkan
bagian penting ini.
2.
Klasifikasi Virus
Klasifikasi virus berdasarkan mekanisme produksi
mRNA menurut Baltimore. Semua virus harusnya menghasilkan mRNA strain positif
dari genomnya untuk memproduksi protein dan bereplikasi, tetapi ada mekanisme
yang berbeda tiap famili virus. Klasifikasi ini terbagi menjadi tujuh kelompok
sebagai berikut;
a. I dsDNA
virus (Adenovirus, Herpesvirus, Poxvirus)
b. II ssDNA
virus (Parvovirus)
c. III dsRNA
virus (Reovirus)
d. IV (+)ssRNA virus (Picoronavirus, Togavirus)
e. V (-)ssRNA
virus (Orthomyxovirus, Rhobdovirus)
f. VI ssRNA-RT
virus (Retrovirus)
g. VII dsDNA-RT virus (Hepadnavirus)
Gambar
2. Macam virus (Sumber: http//biomediacenter.com)
Unit infeksi virus secara keseluruhan disebut
virion. Dalam lingkungan ekstraseluler virus akan mengalami replikasi di dalam
sel hidup dengan menjadi parasit di dalam sel hidup dengan menjadi parasit pada
tingkat gen. Asam nukleat virus mengandung informasi penting untuk bisa
menghasilkan keturunannya yaitu dengan cara memprogram sel inang yang
diinfeksinya agar mensintesis makromolekul virus spesifik. Setiap siklus
replikasi menghasilkan asam nukleat dan mantel protein virus dalam jumlah yang
banyak. Mantel protein virus bergabung
bersama-sama membentuk kapsid yang berfungsi membungkus dan menjaga stabilitas
asam nukleat virus terhadap lingkungan ekstraseluler. Selain itu juga berfungsi
untuk mempermudah penempelan serta penetrasi virus terhadap sel baru yang dapat
dimasukinya. Infeksi virus terhadap sel inang yang dimasukinya bisa berefek
ringan atau bahkan tidak berefek sama sekali, namun mungkin juga bisa membuat
sel inang rusak atau bahkan mati.
3.
Proses Evolusi Virus
Asal
mula virus tidak diketahui dengan pasti, terdapat perbedaan yang mendalam
diantara virus RNA, virus DNA dan virus yang mempunyai keduanya (DNA dan RNA)
sebagai meteri genetik selama tahapan diferensiasi dari siklus hidup mereka.
Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan jenis gen mungkin diakibatkan dari
perbedaan asal mulanya. Ada dua teori asal mula virus yaitu sebagai berikut;
- Virus mungkin berasal dari DNA, RNA atau dari komponen asam nukleat sel inang. Kemudian virus ini dapat melakukan replikasi cara autonom dan lambat laun secara independen virus ini mirip dengan gen yang telah diambil isinya sehingga virus akan muncul menjadi sel independen. Beberapa jenis virus berhubungan dengan berbagai gen sel yang memberi kode protein pada daerah fungsional. Beberapa virus terkecil mungkin mengalami evolusi dengan cara ini.
- Virus mungkin mengalami degradasi bentuk dari parasit intraseluler. Namun begitu tidak ada bukti virus berevolusi dari bakteri, walaupun organisme intraseluler obligat yang bisa terjadi seperti Ricketsia dan Chalmida. Tapi virus Pox terlalu besar dan komplek dimana mereka mungkin mewaili hasil evolusi dari beberapa sel nenek moyangnya (Abrahamishaq, 2011).
Adanya mutasi, contohnya pada virus H5N1 ada tiga
kelumpok yaitu virus yang masih serupa dengan aslinya (AI H5N1) seperti pada
tahun 2003, virus yang mengalami mutasi spesifik yang diisolasi di sekitar
kasus terinfeksinya H5N1 pada manusia, dan kelompok virus yang alami antigen
drift yang tercipta karena tekanan imunologi dari vaksin. Evolusi virus H5N1
terjadi secara terus menerus terutama pada glikoprotein permukaan virus dan
pada segmen gen lainnya. Keragaman virus merupakan hasil dari akumulsi perubahan
molekul pada delapan segmen RNA, yang terjadi melalui mekanisme mutasi titik (antigenic drift), gen reassortment (antigenic
shift), partikel cacat yang mengganggu dan rekombinasi RNA. Setiap
mekanisme ini berkontribusi pada evolusi virus AI (Webster et al, 1992).
4.
Perkembangan
Virus RNA menunjukkan tingginya sebagian frekuensi
mutasi karena kurangnya pengoreksian cetakan enzim yang menjamin ketepatan
dalam replikasi DNA. Frekuensi mutasi yang tinggi berkaitan juga dengan
kecepatan tinggi refleksi replikasi pada kecepatan evolusi genom RNA yang dapat
terbentuk lebih dari jutaan lipatan yang lebih tinggi dari kecepatan evolusi
DNA kromosom inangnya (Holland et al, 1982). Riset tersebut menunjukkan adanya
peningkatan kecepatan mutasi dari virus RNA dan kecepatan ini melebihi
kecepatan evolusi DNA sel inangnya. Mutasi terjadi pada pengkoreksian cetakan
enzi saat mengalami replikasi.
Gambar 3. Genom RNA virus Influenza (Sumber: Vacaniello,
2009).
Pada riset yang dilakukan oleh Chao (1990), kecepatan
mutasi yang tinggi dapat dilihat dari seks evolusinya. Jika kecepatan mutasi
tinggi, mutasi bebas terjadi pada individu menjadi jarang dan dapat hilang oleh
genetic drift pada populasi yang
kecil. Seks dapat menjadi menguntungkan karena individu termutasi dan berhenti
atau melambatnya alur Muller. Studi mengenai Muller’s Ratchet yang berperan dalam evolusi seks virus RNA dan
memperlihatkan penurunan yang signifikan dari ketahanan Muller’s Ratchet yang semestinya pada 20 turunan RNA bakteriofage
phi 6. Hasilnya menunjukkan mutasi yang merusak dihasilkan kecepatan yang cukup
tinggi pada awal Muller’s Ratchet di
virus RNA. Pada virus RNA yang mengalami mutasi dapat menghentikan Muller’s Ratchet sehingga kecepatan
mutasi mengingkat keceptaan terjadinya mutasi. Menurut Chao (1997), seks dapat
diciptakan kembali walaupun terjadi perubahan genetika karena genomnya sedikit
atau tidak bermutasi. RNA virus memiliki kecepatan yang tinggi dalam bermutasi
dan terjadi karena genetik drift pada populasinya. Dari studi yang dilakukan
Chao juga menjelaskan bagaimana pola evolusi molekuler yang diamati pada
populasi yang liar.
Selama RNA virus bereplikasi sering ditemukan
perubahan yang berbeda tiap tipenya karena ketidak tetapan dari genom yang
direplikasi dan ukuran populasi yang
besar. Menurut Duarte (1994) keanekaragaman gen yang sering ditemukan selama
replikasi dari retrovirus dan ribovirus, khususnya saat menggunakan enzim. Variasi,
seleksi dan sampling acak dari genom ditemukan terus menerus dan tidak dapat
dihindari selama virus berevolusi. Evolusi virus RNA memang sukar untuk diprediksi
karena mutasi dan terjadinya rekombinasi, sama halnya karena efek yang halus
saat terjadi perubahan transmisi dan faktor inang/lingkungan. Pada faktor
lingkungan, perubahan terjadi karena ikut campurnya manusia (pengalihan fungsi
hutan, aktivitas agrikultur, perubahan iklim globat dal lainnya) mungkin
perubahan membentuk pola dispersal dan menyediakan lingkungan ynag adaptif bagi
quasispesies virus. Kita mengerti memahami evolusi virus RNA sehingga dapat
mengatur strategi untuk dapat mengontrol dan mendeteksi penyakit yang
disebabkan oleh virus, dengan cara membuat
vaksin baru dan penggunaan reagen-ragen yang memadai untuk mencegah
timbulnya penyakit. Variasi virus yang dihasilkan dari tekanan evolusi yang
dipaksakan karena vaksin atau obat yang mungkin pelan-pelan dan
berangsur-angsur menggantikan quasispesies sebelumnya. Jadi dengan mengetahui
dan memahami pottensi dari keragaman variasi dan fenotip beberapa info penting
virus RNA patogen menjadi lebih jelas. Di sini juga menjelaskan bila pencegahan
dan terapi yang dilakukan tergantung pada multikomponen vaksin dan agen
antivirus yang ditujukan pada mutan quasispesies RNA.
Kode pada genom RNA rawan terhadap kerusaka saat
replikasi dan retro-transkripsi. Ciri khas yang unik dari replikon RNA, secara
dinamis popilasi virus menunjukkan persamaan prinsip klasifikasi genetika
populasi seperti pada organisme yang lebih itnggi. Ketahanan dan kemampuan
virus untuk menginfeksi dan bereplikasi dapat menghasilkan sejuta cetakan dalam
waktu singkat.
Frekuensi mutasi diukur dari paremeter populasi,
walaupun info yang dibutuhkan untuk mengubah kecepatan mutasi masih kurang. Pada
studi yang dilakukan oleh John W. Drake dan John J. Holland pada tahun 1999
menjelaskan hubungan antara frekuensi mutasi dan kecepatan mutasi dari data
riset menunjukkan nilai tengah dari kecepatan mutasi per genom tiap replikasi µg
≈ 0,76. Sedangkan kecepatan setiap sel infeksi kira-kira duakali nilai
terseut yaitu 1,5.
Menurut Elena (2002), beberapa sifat dasar virus RNA
adalah mereka dapat bermutasi dengan kecepatan tinggi, memiliki ukuran populasi
yang besar, dan waktu regenerasi yang pendek. Virus RNA dapat beradaptasi untuk
tetap dapat eksis sehingga berevolusi karena adanya tekanan lingkungan. Ketika
virus beradaptasi pada kondisi lingkungan yang sederhana itu merupakan bayaran
karena telah dapat beradaptasi tetapi pada lingkungan yang berbeda akan
tereduksi kembali. Jadi, terdapat faktor lain yang mempengaruhi penurunan
kecepatan beradaptasinya.
Selama lebih dari satu dekade, banyak yang membahas
mengenai analisis genetika dan molekuler dari populasi RNA quasispesies seperti
permutasian dengan kecepata tinggi, veriabel yang tinggi dan genetiknya.
Kecepatan evolusinya melebihi kecepatan saat eukariotik (inangnya).
Genom RNA yang rawan terhadap perubahan oleh adanya
aktivitas, termasuk ketidak tepatan dalam bereplikasi menjadi rusak, kerusakan
karena faktor lingkungan dan perlawanan dari nukleus dan RNA yang dimodifikasi
dengan enzim yang merupakan respon pertahanan intraseluler dari inang.
Kerusakan daerah yang mengkode dan sinyal-sinyal yang merusak genom yang sehat
sebagai konsekuensinya virus RNA mengembangkan mekanisme untuk menjaga keaslian
genom. Mekanisme tersebut seperti meningkatkan replikase, aktivitas rekombinasi
melalui pertukaran sequensi antara templete RNA yang berbeda dan mekanisme
perbaikan termini genom. Menurut Barr dan Fearns (2010), virus RNA untuk
menjaga genomnya maka pertama yang dilakukan adalah melindungi termini genom
khususnya yang rawan kerusakan. Struktur sederhana juga diciptakan untuk
kebutuhan sekuens RNA virus untuk mengkode lebih dari satu protein dan untuk
protein yang melakukan bebagai macam peran, semua yang dihasilkan dalam pola
yang kompleks (Elena et al, 2010).
Virus RNA sangat berbahaya karena dapat dengan cepat
beregenerasi selama dapat replikasi dan terlibat dalam permutasian sehingga
menghasilkan populasi yang lebih besar (Borderia et al, 2011). Teknologi yang
semakin maju akan dapat menggali lebih dalam mengenai peristiwa sekuens yang
bergenerasi selama virus RNA menginfeksi dan menjadi lebih mengerti
perkembangan, peran dan akibat dari penganekaragaman genetik. Seperti pada
studi Fekete (2000), perkembangan teknologi pembuatan model struktur dua dan
tiga dimensi dari molekul RNA dan mekanisme sintesis dan aktivitas metabolisme
lain. Teknologi tersebut mendeteksi bagian struktur yang harus dilestarikan,
dapat mengetahui fungsi danperanmasing-masing kode. Selain itu dapat membentuk
kelompok-kelompok dari virus RNA maka bisa diketahui genom yang lengkap untuk
diklasifikasikan secara lebih spesifik sehingga dapt bermanfaat bagi
pengembangan dibidang medis (pembuatan obat dan vaksin).
5.
Perkembangan
Virus Influenza
Virus
influenza termasuk dalam famili Ortomyxovirus yang merupakan virus RNA.ada tiga
tipe yaitu A, B dan C yang dibagi berdasarkan antigennya.virus ini kemudian
dibagi lagi menjadi sub tipe berdasarkan antigen permukaannya yaitu
hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Tiga tipe hemaglutin yang ada pada
manusia (H1, H2, H3) berperan dalam penempelan virus pada sel. Dua tipe
neuraminidase (N1, N2) berperan dalam penetrasi virus ke dalam sel. Variasi
kedua glikoprotein eksternal H dan N adakalanyaberubah secara periodik, hal ini
menyebabkan perubahna antigenitas. Antigenic
shift merupakan perubahan bear (major) salah satu antigen permukaan (H atau
N), yang dapat menyebabkan pandemi. Antigenic
drift merupakan perubahan kecil (minor) pada permukaan yang timbul antara major shift dan bisa dihubungkan dengan
epidemi (Pickering dkk, 2000 dalam
Anonim 2012).
Terdapat dua macam mutasi tergantung
besar atau kecilnya perubahan RNA yaitu;
a. Antigenic shift (hanya terjadi pada influenza tipe A): perubahan
genetik yang besar dan mendadak pada HA /NA, tidak ada imunitas di masyarakat
dan mengakibatkan pandemi setiap 10-40
tahun sekali.
b. Antigenic drift (hanya terjadi pada influenza tipe A dan B): terjadi setiapsatu ataau beberapa tahun dalam
satu subtipe, mutasi terjado pada asam amino RNA, tidak menghasilkan subtipe
baru, dan dapat menyebabkan terjadinya epidemi.
Manusia adalah satu-satunnya reservoir untuk
influenza tipe B dan C sedangkan infuenza
tipe A dapat menginfeksi manusia dan binatang. Influenza dapat
ditularkan melalui droplet dari orang yang terinfeksi. Cara penularan lain yang
jarang adalah melaui kontak erat.
Virus Avian
Influenza AI H5N1 telah ada lebih dari sembilan tahun yang lalu. Vaksinasi adalah
salah satu upaya untuk pengendalian AI pada tahun 2004 dengan melakukan
vaksinasi masal ke beberapa unggas dengan menggunakan vaksin autogenus. Setahun
setelah program tersebut, pada tahun 2005 dilaporkan kematian manusia untuk
pertama kalinya terinfeksi virus AI subtipe H5N1 di Indonesia (Sedyaningsih
dalam Dharmayanti et al, 2012).
Evolusi virus H5N1 terjadi terus menerus terutama
pada glikoprotein permukaannya. Keragaman virus merupakan hasil dari akumulasi
perubahan molekul pada delapan segmen RNA, yang terjadi melalui mekanisme
mutasi titik (antigenic drift), gene reassortment (antigenic shift), defective-interfering
particles, dan rekombinasi RNA. Setiap mekanisme ini berkontribusi terhadap evolusi virus AI
(Webster dalam Dharmayanti, 2012).
Mutasi termasuk substitusi, delesi, dan insersi merupakan salah satu mekanisme
paling dalam menghasilkan variasi virus influenza. Kurangnya aktivitas proof-reading polimerase RNA
berkontribusi terhadap kesalahan replikasi satu basa setiap 104 basa
(Holland dalam Dharmayanti, 2012).
Setiap replikasi RNA menghasilkan campuran populasi dengan beberapa
varian, yang sebagian besar sering kali tidak tampak, namun mepunyai potensi
untuk mutasi sehingga dapat menjadi dominan melalui seleksi positif (Webster
dalam Dharmayanti, 2012).
Virus AI dari Indonesia membentuk sublineage yang berbeda dari virus H5N1
genotpe Z. Sebagian besar virus AI di Indonesia mempunyai motif rangkaian sam
amino basa pada daerah cleavage site
yang merupakan karakter dari virus HPAI yaitu PQRERRRKKR/G. Sekuens asam amino
pada cleavage site sebagai penanda
patogenistas virus AI. Tahun 2003-2005, sebagian besar isolat virus AI dari
unggas di Indonesia menunjukkan motif PQRERRRKKR//G (Smith dalam Dharmayanti,
2012). Namun pada maret 2005, ditemukan
isolat virus A1 dari unggas yang mengalami mutasi RàS pada posisi -6HA sehingga mempunyai motif
PQRESRRKKR//G. Tiga bulan setelah itu pertama kali ditemukan kasus manusia yang
terinfeksi A1 dan sekuen cleavage site
virus ini sama dengan motif isolat yang ditemukan (Dharmayanti dan Indriani
dalam Dharmayanti, 2012).
Pentingnya studi evolusi virus AI
untuk mengetahui jenis seleksi yang mengendalikan gen, terutama pada protein
yang berhubungan dengan evolusi virus untuk memprediksi galur vaksin. Sebagian
besar mutasi kemungkinan diakibatkan oleh seleksi positif pada protein
hemaglutinin (Dharmayanti, 2012).
Virus H5N1 di Indonesia yang telah
menjadi penyakit endemis memerlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya
genetic reassortment antara virus
H5N1 dan novel H1N1 maupun virus influenza lainnya seperti H1N1/H33N2 seasonal glue, yang dapat menyebabkan
virus H5N1 lebih udah beradaptasi pada manusia.adanya substansi yang khas pada
protein M1 dan M2. Substansi asam amino tersebut hanya dijumpai pada virus asal
manusia ataupun unggas yang diisolasi di sekitar kasus A1 pada manusia, yang
kemungkinan merupakan virus penyebab infeksi manusia. Virus antigenic drift yang dianalisis memiliki
motif M1 dan M2 seperti motif pada virus A1 asal unggas yang diisolasi tersebut
(Dharmayanti, 2012).
Mutasi terjasi pada protein HA virus
antigenic drift mengakibatkan
penurunan tempat glikosilasi sehingga virus hanya memiliki lima tempat
glikosilasi. Kondisi seperti ini menciptakan populasi virus yang mengalami
peningkatan afinitas terhadap reseptor dan juga menghasilkan populasi virus
yang lebih tahan terhadap netralisasi daripada induknya (Schulzer dalam
Dharmayanti, 2012). Hasil analisis filogenetik gen HA virus H5N1 asal Indonesia
memperlihatkan bahwa virus antigenic
drift membentuk kelompok yang berbeda.
Pemilihan vaksin A1 yang tidak tepat
dapat menimbulkan banyak permasalahan, antara lain timbul virus baru akibat
tekanan imunologis melalui vaksinasi. Penggunaan vaksin LPAI sebagai bibit
vaksin di Indonesia kemungkinan berdasarkan pertimbangan bahwa galur virus HPAI
kurang umum digunakan sebagai vaksin inaktif karena membutuhkan peralatan yang
spesifik. Strategi pemberian vaksin harus dibarengi dengan perubahan bibit
vaksin sesuai virus yang bersirkulasi di lapangan yaitu minimal dilakukan
setiap dua tahun.
Daftar Pustaka
Barr, J.N., and Fearns, R. 2010. How RNA
Viruses Maintain Their Genome Integrity: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Borderia, A.V., Staapleford, K.A.,
Vignuzzi, M. 2011. RNA Virus Population Diversity: Implications for
Inter-spesies Transmission: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Chao, L. 1990. Fitness of RNA Virus
Decreased by Muller’s Ratchet: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Chao, L. 1997. Evolution of Sex and The
Molecular Clock in RNA Viruses: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.Dharmayanti, N.L.P.I., Diwyanto, K., Bahri, S. 2012. Mewasdai
Perkembangan Avian Influenza (AI) dan Keragaman Genetik AI/H5N1 di Indonesia.
Perkembangan Inovasi Pertanian.
Domingo, E. 1997. Rapid Evolution of
Viral RNA Genomes. American Society of Nutritional Sciences: Dissertation. www.tbi.univie.ac.at. 20
Desember 2012.
Domingo, E., Escarmis C. Sevilla N.,
Moya, A., Elena, S.F, Quer, J., Novella,
I.S., Holland, J.J. 1996. Basic Concepts in RNA Virus Evolution: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Drake, J.W. and Holland, J.J. 1999.
Mutation Rates Among RNA Viruses. Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Duarte, E.A., Novella I.S., Weaver S.C.,
Domingo, E., Wain-Hobson, S., Clarke, D.K., Moya, A. Elena, S.F. Holland, J.J.
1994. RNA Virus Quasispecies:
Significance for Viral Disease and Epidemology: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Elena, S.F. 2002. Restrictions to RNA
Virus Adaptation: An Experimental Approach: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Elena, S.F., Sole, R.V., Sardanyes, J.
2010. Simple Genomes, Complex
Interactions Epistasis in RNA Virus: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Fekete, M. 2002. Scanning RNA Virus
Genome for Functional Secondary Structure.
Holland, J.J. 2006. Transition in
Understanding of RNA Viruses: A Historical Perspective: Abstract. www.ncbi.nlm.gov. 15
Desember 2012.
Vacaniello, V. 2009. Influenza Virus RNA
Genom.
Yuwono, T. 2010. Biologi Molekuler.
Erlangga. Jakarta.